Rutinitas atau Adaptasi
Mungkin pertanyaannya
adalah “sampai kapan mampu menopang rutinitas?”
Termakan rutinitas
ngga jauh beda dengan “mungkin ini proses adaptasi”. Semakin membiasakan untuk
dianggap sebagai proses adaptasi ternyata bisa menjadi semakin termakan
rutinitas.
Hal yang
seharusnya disimpan baik-baik menjadi suatu yang berharga, bisa terkikis tipis
dan lama-lama tidak sadar bahwa hal tersebut terlah terkikis secara perlahan. Kalau
tidak sadar betul naudzubillah bisa terlepas, astaugfirullah.
Kembali menemukan
dan bangkit membangun hal yang berharga itu ternyata tak semudah mengembalikannya
seperti semula. Akibat terkikis secara pelahan yang tidak disadari.
Atau,
mempertahankan yang ada, yang tersisa.
Atau,
bahagia sejenak tanpa beban. Hilang
Lalu ada
kembali, kembali berbeban. Seketika saja. Tidak permanen.
Setidaknya ada.
Harus ada
rengekan kecil-kecil dan push dari
dalam diri.
“semuanya
memang kembali ke diri sendiri, mulai dari niatnya. Kalau capek yaa memang
capek, tapi apa yang diperoleh kalau hanya capek. Lelah”
Coba luruskan
niatnya kembali, temukan lingkungan yang sefrekuensi. Jadilah lebih istiqomah.
Wallahu’allam.
Astaugfirullahal’adzim.
Ibu kota dengan angin yang tenang,
besok santer rame
21.50
21052019
Comments
Post a Comment