Menjadi Peka




Menjadi peka ternyata gampang-gampang sulit, bagi orang yang cuek sejak kecil. Entah bagaimana, saat masih kecil sering dinasehati “jadi orang harus peduli, jangan cuek-cuek banget, mbokya itu peka sedikit

Melewati perjalanan hidup hingga usia 24 tahun, ternyata ngga membuat kadar peka meningkat drastis. Masih dalam tahap pelan-pelan untuk meningkatkan, terkadang mempertahankan atau sesekali kembali menjadi orang cuek, tak peduli, tak peka, bodoamat. Baiklah mungkin memang demikian kehidupan.
Ada kalanya menjadi cuek, bodo amat dengan lingkungan sekitar. Tapi ada kalanya pula kepedulian itu tercipta.

Intinya, hampir seperempat abad ini. Menemui banyak pemandangan menakjubkan. Pemandangan yang berusaha untuk menjadi bahan pembelajaran dalam hidup di mata kuliah “kepekaan” terutama di ibu kota. Orang bilang ibu kota itu keras. Dari kalimat itu saja, diri ini tak peduli. Keras, lemah, sulit atau lain sebagainya, I dont care. Just the way I am on my own path, dude.

Pergi pagi, dini hari, pulang dini hari pernah dilalui, pemandangan yang sangaaat beragam itu ternyata benar adanya.

Dari yang orang tidur di gerobak bersama anak yang masih sangat merah hingga pekerja malam yang tanpa malu bekerja secara terang-terangan.

Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa, wajar-wajar saja. Tapi tidak bagi anak yang dibesarkan dari daerah yang masih menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, adat-istiadat, unggah-ungguh dan budaya kental dimana jam 21.00 saja dianggap sudah larut malam, jalanan sepi dan orang-orang sudah berkumpul bersama keluarga dengan rumah yang hangat.

Melihat pemandangan ibu kota yang demikian itu, menjadikan kadar kepekaan/kepedulian ini meningkat cukup drastis. Membandingkan kondisi di daerahnya yang ramah dan hangat akan kebersamaan.

Rasanya seperti mengeluhkan kepada Tuhan, kenapa ada manusia yang berjuang bersusah payah hingga larut, hingga waktunya istirahatpun tak ada. Mata, anggota tubuh beserta organ-organnya memiliki hak atas dirinya. Namun tidak dijalankan.
Hak itu seperti dilontarkan begitu saja, tidak diperhatikan. Tak ada artinya.

Orang-orang dengan kebutuhan khusus namun tetap berjuang demi ribuan kertas rupiah penyambung hidup. Menjajakan dagangan dengan keterbatasan fisiknya. Miris rasanya hati ini.

Atau

Orang dengan tas yang sangaaat besar dibebankan dipundak hingga kain bajunya terkoyak karena beban yang begitu berat, kedua tangannya membawa barang untuk dijajakan. Berjalan. Jalan. Dan jalan, sampai jauh. Sendal jepitnya sampai tipiss.

Ditengah kemacetan menjadi kesempatan emas bagi orang-orang yang menjajakan minuman, ditengah terik matahari, 30-33 derajat celcius. Sudah tidak mempedulikan penampilan, kulit halusnya, kulit wajahnya tanpa BB cream, SPF atau sunblock lainnya. Tanpa perawatan setelahnya. Karena biaya untuk perawatan tidak lebih penting dibanding untuk membeli keperluan untuk kebahagiaan keluarga, entah terbuat dari apa hati mereka bisa setangguh itu.

Apakah setiap hari merasa tertekan?
Kerja tidak tenangkah? Atau malah tenang-tenang saja.
Walau mungkin tidak ada target dari atasan di kantor tapi pasti ada target pribadi agar bisa mendapatkan beberapa rupiah di hari itu.

Jika kesehatan sedang tidak membaik, beberapa hal lainnya menjadi terkendala. Kalau hari ini tidak dapat beberapa lembar rupiah, bingung nanti makan pakai apa. Harus kuat, harus sehat, fisik dan pikirannya. Siapa yang bisa jamin?    

Mungkin untuk beberapa kalangan, kondisi fisik bukan hal yang menjadi masalah. Tapi kondisi hati.
Hati kadang tidak bisa berbohong. Bagaimana kalau mereka iri. Merasa sedih, merasa hopeless, merasa give up. Melihat orang yang bisa menikmati fasilitas yang nyaman, mewah, canggih. Apakah mereka merasakan itu?

Dunia ini....

Untuk “manusia” yang sering mengeluh akan kemacetan ibukota, keterlambatan transportasi umum, ketidakjelasan rute jalan, kesalahan yang tidak disengaja (dilakukan) oleh para manusia yang sama-sama setara di bumiNya ini.

Semoga Dia selalu melindungi kita dalam iman.


20.02 
28102018
Di ruangan kotak biasa dan mulai hujan

Comments

Popular posts from this blog

Ada, tentu ada!

Kenangan

Anak Panah