Lompati tembokmu!

Para nelayan menarik perahu ke darat di pantai di Banyuwangi #35mm



Seseorang pernah bilang "lompati tembokmu"
Satu kalimat yang sungguh general, namun sulit diimplikasikan. Sebuah perintah, sugesti atau doktrin. 

Awal-awal kalimat itu muncul, selalu tertentang bahkan hingga menolak "engga! ga mau pake kalimat itu, yaa.. this is me, gamau melewati tembok" tapi, dewasa ini banyak sekali bermunculan berita/info tentang mental health, healing, stress, depresi, dan segala hal yang bermula dari hati, kenangan, perlakuan, tindakan apapun yang muncul entah dari internal maupun eksternal. Semua hal buruk yang menimpa, seakan sulit dikondisikan, tidak ada obat pencaharnya. Hingga akhirnya, otak mencerna segala berita yang lewat dihadapan. Mencerna dengan teori konspirasinya, perasaannya, logikannyaa, serta menggali dari teori-teori para filsuf lainnya. 

Lalu, munculah "ada hal-hal yang bisa dikendalikan oleh diri, tapi ada pula hal-hal yang diluar kendali diri". Sebagai manusia, batasannya hanya mampu fokus pada "hal-hal yang bisa dikendalikan oleh diri sendiri" di luar itu, tentu bukan lingkar kendali.

Kembali dengan kalimat "lompati tembokmu" tiba-tiba seakan menjadi mantra. 

Apapun luka yang hadir atas segala kekejian manusia lain yang menurut diri itu tak pantas, maka selayaknya diri juga berhak mendapat perlakuan yang baik. Rumit

Mudahnya. Tuhan Maha Adil, dan manusia tidak ditugaskan untuk mengadili. 

Waktu terus berjalan, pertanyaannya "mau sampe kapan?

Mau sampe kapan menyalahkan orang lain, sebagaimana memang orang lain yang salah?
Mau sampe kapan menghakimi orang lain yang telah membunuh diri, walau memang orang lain yang membunuh?
Mau sampe kapan terpuruk karena orang lain yang diluar kendali diri?
Mau sampe kapan gelisah atas kenangan pahit yang dibentuk oleh orang lain? 
hingga pertanyaan-pertanyaan jugdement lainnya.

Padahal manusia punya hak atas dirinya.

Formulanya:
Hal yang bisa dilakukan adalah hanya mengendalikan diri. Titik. 
Manusia tidak dapat mengendalikan orang lain. Titik.

Mengendalikan diri sendiripun, banyak variabel, macam dan bentuknya. 
Seperti, "lompati tembokmu"

e.g : jika perasaan hancur datang, kalimat "coba kalau itu tidak terjadi, ini gara-gara dia". 
Maka yang bisa dilakukan hanya melewati tembok. Pertama, untuk tidak memunculkan perasaan itu, tidak mengizinkan perasaan itu hadir (ya ngga bisalah!; itulah makna lewati tembokmu, karena cuma kamu yang mampu mengendalikan perasaan itu). Keduaconscious (sadar) dengan hari ini, detik ini, present bahwa bukan lagi masa lalu, untuk apa mengungkit masa yang tlah terjadi. Ketiga, fokus dengan masa depan, apa solusinya? apa yang harus dilakukan? bagaimana caranya? Cukup itu.

Lewati tembokmu, jika segala perasaan buruk itu hadir.
Lewati tembokmu, jika hasuratan untuk terjun dalam kesenduan masa lalu hadir.
Kendalikan diri sendiri.
Jalan buntu jika mengendalikan orang lain. Buat apa?

Lewati tembok... memang tidak semudah ucapan, tapi cobalah dan kembali ke pertanyaan "mau sampe kapan?"

Selamat mencoba :)

0944
10032022

Jangan lupa Al-Kahf

Comments

Popular posts from this blog

Ada, tentu ada!

Kenangan