Ke Pulau Sasak
Kala itu, hari masih gelap namun sang surya mulai menampakan dirinya. Suara Adzan bersautan lalu sejenak menyujudkan diri untuk memohon perlindungan dan kewajiban kepadaNya. Berusaha untuk bangun dari mimpi gelap, menuju pulau baru yang akan dihuni sekitar satu bulan lamanya.
Berdelapan; bersama seorang warga asli pulau yang akan kami kunjungi. Dengan carrier (tas gunung) dan daypack (tas ransel) sebagai pelengkap
dan bekal. Pukul 04.00 WIB pagi, keluar pintu gerbang utama rumah. Dia (anak
pulau; Baiq) memanjat pagar. Menyusuri jalan yang sebagian terang dengan lampu
jalan yang remang-remang, tak ada seorangpun yang berjalan. Seperti tak ada kehidupan. Tiba-tiba
angkutan umum lewat. Kami yang tertahan dengan beban masing-masing memutuskan
untuk menaikinya menuju meeting point yang telah dijanjikan sebelumnya.
Pesawat kami pukul 09.00 WIB.
Dari kota hujan menuju bandara Soekarno-Hatta membutuhkan waktu sekitar 2 jam.
Hingga tiba saatnya pesawat take off
dan kami berdelapan menuju pulau dengan sejuta keindahan alam, pulau dengan icon negeri di atas awan. Bukan untuk
berlibur namun untuk menuntut ilmu (utamanya). Perjalanan yang gelap, karena
kami tertidur hingga semua seperti tak terbangun dari mimpi (lelah). Beberapa
menit landing. Terlihat jelas,
horison dan cakrawala kehidupan di pulau ini. Lombok, sebuah pulau yang berada
di Nusa Tenggara Barat. Memiliki sejuta pesona, dari atas pesawat nampak
barisan bukit yang menjulang beserta lembah yang mendampingi. Tak ada banyak
pemukimanan, gambaran halus dari hijauan daun dan air yang jernih. Kehidupan bawah
airpun terlihat dengan mata telanjang, garis pantai yang elok dan
lukisan indah sang Rinjani tak kalah apik dan gagah menjulang menembus awan siang ini.
Pukul 12.00 WITA, pesawat
landing. Welcome to Lombok. “Matur tampiasih”.
Dari ujung bandara
(parkiran) telah menunggu pick up hitam.
Ibu (Inaq) dan bapak (Mamiq) Baiq menyapa dan menyambut sang anak. Demikian dengan kami bertujuh, bersalaman, berkenalan dan bercerita layaknya keluarga jauh yang saling ingin bertemu sapa. Semua barang
diterjunkan ke pick up untuk
menyusuri jalan Lombok Tengah. Kondisi jalan yang sepi dan lebar membuat pick up hitam ini bisa melaju kencang.
Udara yang tidak panas namun tidak mendung membuat angin meniupkan ke seluruh
bagian tubuh yang terkena. Bersama barang bawaan yang ditumpuk dan memenuhi hampir setengah bagian belakang pick up, duduk menyila dan bercerita,
terasa indah dan menyenangkan. Angin yang bergerak semilir kencang membuat mata
harus menyipit dan bibir kering, namun hal tersebut yang membuat hati ini
menjadi hebat. Ada rumah, sawah, padang gembala dan hamparan luas hijauan serta julangan megah sang
Rinjani terlihat sebagai lukisan cantik teman perjalanan.
Tak terasa, masuk kawasan
Praya Timur Desa Marong. Sampailah di rumah Baiq. Disambut dengan bahasa yang unik (belum pernah terdengar sebelumnya), bersama warga yang ramah dan sederat anak geng kawan Baiq. Hidangan ini sungguh mengasikan, sayur daun keturi bumbu santan, kacang kedelai goreng, tahu goreng, sayur
daun kacang, jagung yang begitu maniiiss (tak terasa asam), teh, kopi panas dan
sekotak tembakau beserta kertas rokok membuat rasa kekeluargaan menyelimuti. Pada
saat itu, perempuan memasak dan mencuci piring bersama Inaq sedangkan laki-laki
berbagi cerita dengan Mamiq. Mamiq yang ramah dan banyak cerita membuat mereka
tak habis dengan bahan pembicaraan. –yakinlah
bahwa ini benar-benar jauh dari gemerlap kota-
Bergegas menuju
kantor(?). Seperti tujuan utama. Kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani
tempat kami menuntut ilmu. Masih tetap bersama mobil pick up hitam dan personel yang sama pula menuju Mataram, Lombok
Barat. Tak jauh beda dengan perjalanan sebelumnya, suguhan pemandangan alam tak
kalah memikat, angin berhembus, rumah, sawah, semua sama. Tak ada sedikitpun
yang tertinggal. Namun di pertengahan jalan, suguhan indah itu lebih
bervariasi. Terpampang wajah gedung tua berjejer. Mobil pick up memasuki kota, terdapat sekolah,
perkantoran, pertokoan, pasar besar dengan atap yang khas. Walau demikian tatanan apik dan unik
membuat pulau ini memiliki cerita tersendiri. Jalanan kota yang masih memiliki
hutan kota bentuk jalur, boulevard (jalur hijau memanjang menyelusuri jalan lebar)
terlihat teduh dan rapi. Mungkin tak akan bosan memandang dan menyusuri kota
yang kecil dan sepi ini.
Hujan mulai turun sebelum
kami sampai tujuan. Terpal mulai dibuka, tawa semakin kencang karena hujan
deras mengguyur kami yang berada di dalamnya, sang pick
up juga tak kalah kecang melaju. bagai bermain arum jeram di atas aspal. –jika ada kata lebih dari seru, mungkin akan digunakan-
Sambutan hangat terlihat
saat pick up hitam itu tepat berhenti
di depan kantor balai. Pak Senun, Kak Kenny (our senior), pak Lubis dan beberapa lain yang menyalami. Langsung
dibawa kami menuju rumah tinggal sementara. Astri (asrama putri) dan astra
(asrama putra). Dua rumah sama persis yang bersebelahan, di dalam area wisata milik pemda yang dikelola masyarakat; Pantai Gading namanya. Sapa hangat dari warga
sekitar membuat kami mulai nyaman dan mencoba adaptasi dengan lingkungan baru
yang mungkin akan dihuni selama satu bulan ke depan. Basa-basi, ramah tamah
terpampang sudah diawal perjumpaan. Kak Kenny juga mencoba
mencairkan suasana dengan juniornya.
Hari semakin malam. Mobil
pick up mulai berpamitan beserta
penumpangnya, kecuali kami berdelapan, carrier
dan daypack. Assalamu’allaikum Inaq,
Mamiq, Zulfala. See you again. Tak
terasa malam tiba, kak Kenny dan pak Senun berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun tinggal sebuah
janji kak Kenny bahwa nanti malam akan datang beliau besama bang Mayser (suami;
senior). Bersih-bersih, sapu-sapu, memasukan carrier. Semuanya (berdelapan) seperti tak ada yang bersantai. Kami semua merapikan ruangan dan membuat
tatanan untuk menyamankan diri layaknya kamar putri dan putra. Hingga malam
semakin larut, datanglah sepasang yang tak asing (kak Kenny-bang Mayser).
Hangat sudah malam ini. Tiba-tiba
pak Senun datang, memberitahukan bahwa kami harus berkunjung ke rumah kepala
lingkungan sebagai pelaporan bahwa akan ada penghuni baru selama satu bulan
mendatang. Kami berdelapan beserta
sepasang senior melanjutkan (bercerita banyak hal) dari persoalan kuliah,
pekerjaan, Taman Nasional Gunung Rinjani, Universitas Mataram (karena bang Mayser salah seorang dosen di sana) dan indahnya Lombok. Tak
hanya itu, buah tangan dari mereka membuat kami (anak mahasiswa) mengeluarkan
senyum lebar, selebar-lebarnya. Ayam goreng, air mineral galon kecil dan
beberapa makanan kecil (jajan) –Thanks a lot senior, we always remember you-
“Setelah itu breafing, kali ini ditemani angin malam pantai Gading dan suara deburan ombak (selalu tiap malam; everywhere)“
Selamat datang 30 hari ke depan
Praya, 27 Januari 2016
Comments
Post a Comment