Kuy Baduy


Beberapa kali melakukan perjalanan minimal budget dan minimal transportation malah memberikan banyak pelajaran berharga. Terkadang memang membuat orang lain khawatir dan berakhir pada “wah, pegel juga ya” tapi itu konsekuensi. Mencoba menetralkan dan menenangkan orang-orang sekitar bahwa “gapapa kan ada Allah yang ngejaga, penting niat dan tawaqal”.
Untuk perjalanan kali ini, tidak jauh. Hanya sekedar merehatkan badan dari hirukpikuk klakson dan polusi perkotaan yang cukup individualisme dan antroposentris. Menuju desa di ujung barat pulau Jawa yang ramah dan wangi budaya alam maupun sosialnya. That's BADUY

Bermoda transportasi kendaraan roda dua yang kursinya tidak seempuk pada umumnya, tapi cukup gesit dan ramping untuk dikendarai dengan jalur yang berbelok-belok dan menanjak-nanjak serta bergeronjal-geronjal. Berangkat tepat setelah adzan Subuh, sholat subuh dan langsung (tanpa mandi, haha) menuju kampung yang di huni oleh suku Baduy di Banten dari Dramaga, Bogor. Perjalanan dengan jarak 110 km atau sekitar 4 jam 35 menit waktu tempuh untuk sampai ketujuan dengan kecepatan standar 60km/jam. Namun karena pemandangan saat fajar di Dramaga, Ciampea dam Leuwiliang cukup menarik perhatian, maka laju kendaraan diperlambat. Sejenak merasakan indahnya ciptaanNya dan mencium aroma khas dataran tinggi dengan suhu udara yang tak pernah tersentuh di kota tempat tinggal tiap harinya (sang ibu kota).  Jalanan masih sepi, dingin Subuh merasuk perlahan dan kabut menemani tiap langkahnya. Layaknya timelapse menikmati perubahan waktu fajar menuju syuruq-nya matahari. Ini benar-benar nyaman, bukan karena keindahannya tapi karena setiap harinya yang selalu bersama sang panas dan polusi kota kemudian bersapa dengan udara khas dataran tinggi, sejuk!

Akan ada banyak cerita sesungguhnya, dari perubahan keramaian hingga keheninggan jalan. Sungai, jalan berkelok, hutan, pasar, masjid, kesederhaan masyarakat, kebun, sawah, sekolah, tanjakan, bebatuan, jalan mulus beraspal hingga bergelombang tak beraspal, berbatu. Motor ini hanya sekali ke pom bensin mini untuk isi full tank dan sekali saat pulang tidak full tank (hanya ingin mengembalikan dalam bentuk semula saat meminjamnya).

Tiba di Baduy
Ada baduy dalam dan baduy luar memang cukup berbeda, dari penampilan, adat dan pola pikirnya. Baduy dalam benar masih menggunakan tradisi dan adat leluhur yang seluruh kebutuhan hidupnya berasal dari alam, seluruhnya! Sampo, sabun, makan, tas, baju, rumah, tranportasi, segalanya.

Rumah dipaku? Tentu tidak, mereka menggunakan rotan untuk menyatukan bagian satu dengan lainnya. Sampo, sabun, tas dan makanan berasal dari tumbuhan. Tranportasi, mereka terbiasa menggunakan kakinya yang kuat dan kokoh tanpa alas. Mereka juga menempatkan makhluk hidup lainnya sejajar di muka bumi. “Tidak ada hama jika kita saling menjaga satu sama lain, menempatkan binatang di habitat yang semestinya tanpa mengganggu dan mengambil relung mereka, maka mereka tidak akan mengganggu manusia’’ Baduy dalam menggunakan pakaian serba putih, tanpa ada jahitan dari mesin jahit layaknya baju yang dijual di toko-toko. Tidak mengenal listrik, alat komunikasi, gadget dan rokok pada umumnya.

Memasuki lingkungan mereka, rasanyaaa... tenang dan damai berdampingan dengan alam. Demikian Dia Sang Maha Pencipta, memberikan bumi ini untuk dimanfaatkan untuk kesejahteraan makhluk hidupnya dengan cara berdampingan tersebut. Tidak ada saling tindih dan paling berkuasa.  

Komuditas utama mereka adalah beras, menanam padi di ladang yang memiliki kemiringan cukup tinggi tidak menyulutkan semangat dan hasil panen. Sistem tanam dan panen dilakukan serentak, selain tradisi kebersamaan, juga mengurangi hama yang dapat menyerang secara keseluruhan di ladang miring. Sedang baduy luar memang sudah cukup mengenal dunia baru, tapi mereka masih menghargai tradisi yang telah dibnetuk oleh leluhurnya, walau terkadang ambil-ambil waktu untuk menggunakan alat terbarukan. Mereka telah mengenal modernisasi, tapi masih ada aturan adat yang harus dipatuhi. Wisatawan datang membuat mereka mengenal budaya modern, salah satunya. Beberapa rumah milik orang penting adat tidak boleh diabadikan. Lumbung padi dan jembatan tua terlihat kokoh berdiri dengan gagah. Padi itu disimpan hingga bertahun-tahun lamanya dan masih bisa dimakan.

Ini sungguh indah, indah budaya, indah alamnya dan indah perjalanannya. Lelah karena berjalan menyusuri jalan desa yang tidak memperbolehkan berbagai tranportasi masuk. Terkadang sayang jika ke-khas-annya pudar dan terkesan dibuat-buat hanya untuk sebuah wisata dan memenuhi kebutuhan citra di social media.

Setidaknya, yang harus berjalan pada mulanya tetap berjalan dengan semestinya tanpa ada perubahan yang dilakukan hanya untuk hal yang tidak memiki faedah berarti. Mengambil pelajaran dan hikmah dari Baduy cukup membuat hati belajar menjadi lebih sederhana dan memahami alam secara keseluruhan.

04032018.
Jakarta-Bogor

Comments

Popular posts from this blog

Ada, tentu ada!

Kenangan

Anak Panah