Di Bawah Jembatan Niat
Beruang madu di salah satu pusat rehabilitasi di Kalimantan Timur |
Assalamu’allaikum,
Berhari-hari mencoba menggerakkan tangan ini untuk menulis kembali, namun rasanya tidak ada hati dan niat yang sesuai. Dalam rangkaian kata-kata yang sebenarnya banyak sekali untuk dijabarkan, namun lagi-lagi, hati ini tak mampu.
Bahkan terkadang mendefinisikan rasa dan pikiran yang tersimpan pada suatu momen saja masih belum bisa. Ini seperti dampak dari penyakit yang secara tidak sadar merubah hati manusia.
Hari ini, mencoba menuliskan dan menjabarkan apa yang sedang dirasakan. Walau sejujurnya berat karena tidak mampu mengidentifikasi perasaan mana yang harus ditulis dan dirasakan saat melakukannya, namun dengan terus mengetikkan kata demi kata ini, hati terasa lebih tertata.
Bismillah,
Hujan di bulan Januari, dengan
suasana hening dan hanya terdengar bunyi dari tombol-tombol keypad laptop,
dariku maupun dari sosok yang duduk di seberang.
Perasaan sedih ini terasa
mengalir begitu deras, menyisak dan tak terbendung. Walau seharusnya mampu
untuk menahannya, namun semakin lama tertahan, semakin sesak di dada.
Hal terjadi tidak sesuai harapan,
walaupun sesungguhnya niat yang terbangun diawal bukanlah terkait objek yang
dijadikan harapan. Ini sungguh menyesakkan.
Hal yang tidak sesuai harapan, menimbulkan kecewa yang begitu dalam. Bahkan tak mengerti bagaimana harus menganalisanya menjadi sebuah rasa untuk bisa diredam.
Sepertinya ini menjadi salah satu penyakit hati.
Perlahan air mata menetes, dan
hati menjadi semakin terpuruk, namun ada rasa yang sedikit menenangkan, di dada
menjadi lega.
Sebuah rasa yang seharusnya tidak
muncul. Sedih itu seharusnya tidak muncul hanya karena sesuatu yang tidak
sesuai harapan (kecewa). Harapan itu bahkan muncul secara perlahan, perlahan,
perlahan sangat pelan hingga tak menyadarinya menjadi sebuah bagian dari diri
dan pikiran. Terpatri kemudian lupa bahwa itu sebuah harapan yang belum pasti.
Seharusnya dapat kembali. Kembali
mengingat niat awal yang dibangun, saat sebuah harapan semu itu muncul.
Niat yang terbangun, bukankah
tidak ada korelasinya dengan harapan itu, lalu mengapa bersedih?
Niat awalnya hanya untuk bisa kembali, dalam perjuangan untuk sebuah jiwa yang telah lama pergi.
Niat awalnya
hanya untuk bisa pergi, dalam perjuangan untuk sebuah jiwa yang secara tak
sadar meninggalkan jati diri.
Niat awalnya hanya untuk bisa
utuh, dalam perjuangan untuk sebuah jiwa yang ingin tetap utuh menjadi manusia
yang bermartabat, dimata sesama mahklukNya dan tentu dimataNya.
Lalu, harapan itu…
Harapan itu muncul dalam
perjalanan menemukan dan dalam perjuangan niat. Harapan semu untuk lebih.
Kemudian tak sadar bahwa itu sesungguhnya hanya bonus.
Jiwa ini sudah ternodai hanya
karena harapan semu, seharusnya dapat diisi dengan senyum, bahagia, gembira,
dan bersyukur. Tapi inilah manusia.
Comments
Post a Comment