Pulau Sikerei (Saling)
Manusia-manusia berdarah Minang itu terlihat antusias mengenalkan diri ini untuk lebih peka terhadap budaya, kebiasaan, tradisi dan jamuan selamat datang khas mereka. Entah raut wajah yang benar bahagia atau menutupi dengan sebuah kebahagiaan atas kelelahan yang tiada henti.
Tapi itu lebih dari cukup. Mencoba menelisik satu
persatu wajah-wajah baru. Melebur untuk mengetahui karakter dan menggali akan
sebuah kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh sang tamu. Ini terlihat
menyenangkan.
Satu hal yang terlihat indah “kami belum saling kenal, kami tidak tahu satu sama lain, kami tidak mengerti siapa dia, kamu dan mereka. Apakah dia baik? Jangan-jangan dia sebenernya seorang penipu, pencuri, pembual atau pembunuh? Semua pertanyaan itu seperti telah diikat rapat dan dijamin tidak akan keluar di pikiran. Entah perasaan apa yang diberikan hingga sebuah kepercayaan itu timbul dan menjadikan mereka layaknya saudara jauh yang bernaung dalam satu atap lalu terpisahkan. Dekat, bercanda, tertawa, berbagi dan setujuan”
Hari pelayaran dimulai. Pelayaran? Yap berlayar menuju pulau terdepan
Indonesia di sisi barat. Mencoba mengerti dan meyakinkan diri bahwa semua hal
diputuskan secara heterogen. Bukan seperti jejak-jejak sebelumnya yang penuh
dengan ke-homogenan. Perjalanan atas
dasar banyak ketidaksamaan untuk sebuah kesamaan tujuan.
Berbaur menjadi satu, mencoba menyamakan persepsi,
menyederhanakan persepsi dan men-general-kan kalimat-kalimat ilmiah menjadi
bentuk sosial yang siapapun diharapkan bisa mengerti (karena ini bukan homogen,
please!). Hingga siapa sangka ke-heterogenan
ini, memunculkan suatu alur garis koordinasi antar perbedaan yang mana pada
dasarnya semua berujung pada satu tujuan. Alam !. Lalu, terpisahkan untuk lebih
terfokus pada hal yang tertentu, mengambil perannya masing-masing. Namun tetap
dengan tujuan yang satu, sehingga memudahkan untuk mengerti akan sebuah
permasalahan yang terjadi. Lalu membuat solusi untuk lebih sering
mengantisipasi.
Archaeology, jurnalism,
politic, history, education, literature, pharmacy, technic, oceanography,
science, social, management, forestry, law etc are related that’s the one thing
in the world. It is nature.
Berbaur tanpa ada rasa
canggung.
Setelah kurang lebih 25 jam mengarungi gelombang ombak
yang begitu menyenangkan. Kaki yang menapaki besi-besi tua. Tercampur
sistematik dengan para saudagar-saudagar pejuang keluarga untuk melepaskan
seluruh tenaga demi sesuap nasi dan tanggung jawab yang dipikulnya. Selain itu
para pemuda/i dari seberang pulau yang sejenak mencoba menelusuri jejak
perjuangan tanah bersejarah dan mengabdikan diri.
Pagi itu, mendarat di Pelabuhan Pokai, Kepulauan
Mentawai. Ramai tapi tak sesak. Para saudagar menurunkan hasil pengurasan
selama di pasar, di Pulau Sumatera untuk diedarkan di sekitar Pokai demi
menyambung hidup dan tersambungnya hidup para penghuni Pokai lainnya. Tak lama
pemandangan indah yang sejuk, kicau sang penghuni semak dan deburan ombak kecil
serta rintikan air yang menyatu menjadi nyanyian alam yang sudah biasa sepaket
member kesan teduh.
Hingga besi tua itu kembali melayarkan diri menuju
pelabuhan selanjutnya. Sibei, pada terik panas yang membakar, matahari sudah
bekerja keras menuju puncak, besi tua menghentikan langkahnya. Sibei (?), yang
jauh dari tepi. Besi tua ini tak mampu menepi karena sebongkah karang sedang
memperjuangkan hidupnya di sana. Besi tua ini mampu menghancurkan hidup mereka
jika ia berani mendekatinya, lalu akan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk
dapat membangkitkan kembali sang karang pujaan, it’s a beautiful molecule.
Dua pelabuhan terlewati, besi tua menjadi senggang,
tapi masih ada beberapa makhluk Tuhan yang belum menemukan tempat singgahnya. “kami pelabuhan terakhir” katanya. Dalam besi tua itu, semua terasa akrab. Layaknya
saudara jauh yang memiliki ikatan. Segala umur, profesi, latar pendidikan,
agama, budaya, bahasa apapun itu tidak menjadi hal yang harus diperdebatkan.
Saling berbagi, bersaluran tangan, bercerita dan berirama. Hal unik yang
terlihat secara otomatis dan tak tersadarkan adalah sifat asli manusia akan
muncul dalam hal ini. Kebauran akan keheterogenan latar belakang hidup membuat
manusia akan mempertahankan diri untuk tetap bertahan. Dan cara bertahan
tersebut yang memunculkan sifat sejati dirinya. Terlihat termanjakan egoiskah
diri ini atau rendah hati dengan mengedepankan kepentingan umat? Itu akan ternampakan secara otomatis dan tak
tersadarkan. Barang-barang yang aku, kamu dan mereka bawa tidak
sedikit bahkan berpuluh-puluh-ton-ton tapi terasa ringan karena adanya rasa
“saling” tersebut. Dan ada satu hal yang
indah begitu tampak dengan jelas, adalah saling
percaya. Percayalah~
Matahari telah lelah, dan beberapa saat adzan petang
berkumandang. Tak beberapa lama, panggilan untuk keluar muncul. Keluar dari
besi tua. Punggung, kedua tangan dan pundak mencoba berusaha mengeluarkan
segala barang bawaan. Bersama uluran tangan dari penghuni sementara besi tua
dan senyuman-senyuman entah bahagia yang sesungguhnya atau mencoba mem-bahagia.
Tapi ini terasa menyenangkan. Lalu bersama langit yang mulai tak menampakan
cahaya cerah, namun masih ada sinar sang rembulan (remang), suara sorak sorai
dari bawah berestafet menginformasikan berita.
Kita telah tibakah ?
(bersambung...)
Di (bukan tanah) air sikerei
Comments
Post a Comment