Ramadhan Tahun Lalu (Menjadi Minoritas)
Asrama heboh penuh kenangan haha
Teringat cerita Ramadhan tahun lalu. Entah mengapa, dari sekian banyak kisah Ramadhan-dewasa-rantau(ku). Ramadhan di kota rantauan. Selalu memiliki cerita khasnya tersendiri, selalu.
Ramadhan tahun lalu 2017,
Ramadhan terlekat. Mungkin karena baru terjadi tahun kemaren. Rasanya masih
terngiang-ngiang kenangan saat di sana, ditambah masih seringnya kontak
komunikasi dengan kawan-kawan di sana. Masih sangat sering dan bahkan beberapa
teman mengingatkan akan momen-momen saat bersama (dulu).
Tahun lalu, pertemanan entah bisa
disebut apa namanya tapi hal yang sering dilakukan oleh kami bersebelas adalah
masak- makan- nge-foodcourt- jajan di
Pangkalan Kerinci- pisang coklat- alpukat kocok- ayam geprek- bakso depan
ramayana- tahu krispi dan masih banyak makanan dan aktivitas unfaedah lainnya. Tapi
pisang coklat dan masak lalu makan bareng memiliki ratting tertinggi karena sering dilakukan. Kumpul di salah satu
kamar untuk masak bersama, belanja di pasar atau hal yang lebih bahagia ketika
ada temen yang baru kembali dari kampung halaman lalu membawa oleh-oleh seperti
pempek, ikan bandeng presto, kue bolen kartika, kue kacang beserta
minuman-minuman khas daerah.
Moment itu sering dilakukan
hingga kadang kamar salah satu teman tersebut layaknya dapur umum, dengan
segala kehebohan dan kekotoran atas kegaduhan saat masak. Bau telor pecah, bau
amis ikan, bercak sayur, licin minyak goreng, wastafel bocor dan ambrol, bau gas dan peralatan masak yang
entah punya siapa jadi milik bersama.
Hingga pada suatu hari adanya moment yang cukup tidak
mengenakan, yaitu tertangkap satpam karena memasak bersama dalam satu kamar di
asrama putri yang berisi tidak hanya putri, akhirnya aktivitas tersebut
dialihkan ke lobi asrama (selain itu karena berisik, masak sebelas orang dalam ruangan 4x3m, yaa bayangkan saja!. Ada kecurigaan bahwa tetangga sebelah yang melapor ke pos keamanan kalau merasa terganggu dan berisik, tapi tak perlulah curiga-curiga. Kami juga merasa ini tak baik terus-menerus).
Kadang harus share room dengan yang lain, di saat yang lain sedang tidak ingin makan. Tapi kami bersebelas malah masak, makan dan menguasai ruangan lobi. Rasanya jadi tidak nyaman, tapi dibanding harus berurusan dengan satpam kembali, lobi menjadi pilihan yang tepat.
Kadang harus share room dengan yang lain, di saat yang lain sedang tidak ingin makan. Tapi kami bersebelas malah masak, makan dan menguasai ruangan lobi. Rasanya jadi tidak nyaman, tapi dibanding harus berurusan dengan satpam kembali, lobi menjadi pilihan yang tepat.
Dari sebelas orang tersebut,
hanya dua orang yang Muslim. Satu teman Muslim ini, malah lebih terlihat seperti
orang chinnes karena rambut dan
wajahnya yang oriental.
Menjadi minoritas, bukan seperti
yang dipikirkan. Diriku merasa biasa saja. Aman dan baik-baik saja. Semua sesuai
dengan kadar dan jalan keyakinannya masing-masing. Bahkan dari sebelas orang
tersebut, diri ini yang hanya menggunakan jilbab. Tapi mereka semua baik-baik
saja. Akupun juga tidak memiliki keganjalan apapun.
Jika pertanyaan orang lain
muncul, mengapa tidak bermain dengan teman semuslim. Entah harus menjawab apa
dan bagaimana. Pertanyaan itu muncul tidak satu, dua kali. Bahkan sering tapi
selalu tidak menemukan jawabannya. Sepertinya karena sefrekuensi? Entahlah
Cerita ramadhan tahun lalu
Dimana puasa sendiri, sahur
sendiri, buka tidak sendiri. Mereka selalu seperti exciting di saat akan berbuka. Bersama-sama pergi ke bazar makanan.
Seperti biasa, bulan puasa tidak menghalangi aktivitas harian. Beli berbagai
jenis makanan, minuman, cemilan lalu dimakan bersama-sama. “kamu mau beli makan
itu, yaudah aku yang ini ya. Biar bisa sharing
haha” yang biasa dilakukan.
Mereka ikut berpuasa walau hanya
dari jam makan siang hingga adzan Magrib “saa, udah boleh buka belum? Makannya nunggu
buka aja” dan akan heboh saat tiba-tiba adzan berkumandang “yeaaah, makaaan
haha” padahal mereka tidak puasa. Itu yang dilakukan ketika weekdays. Berbeda cerita ketika
weekend tiba.
Weekend lebih heboh, walau dimulai dengan malas-malasan. Heboh bikin kue brownis siang-siang pakai rice cooker, atau masak sayur beserta lauk pauknya sore harinya. Dibagi menjadi beberapa tim. Tim belanja ke pasar, tim masak, tim nyuci alat masak. Masak untuk buka bersama. Buka bersama, padahal yang puasa hanya 2 orang saja. Tapi yang heboh sebelas orang.
Atau celetukan-celetukan seperti “saa, ga tarawih? Saa, udah buka? Saa, tadi saur kan? Eh matiin musiknya, irsa mau sholat. Saa, ini kue buat buka, ga ada babinya kok. Saa, ke masjid ngapain sih lama banget. Saa, itu di masjid acara apa? Buka bereng ya? Boleh ikut ga? Hahaha”
Hal-hal seperti ini, yang sering teringat
di Ramadhan tahun ini. Menjadi minoritas bukan harus minder, bukan harus
menghilangkan identitas diri dari sebuah keyakinan (agama). Lalu, masih ragukah
akan sebuah toleransi? Pancasila sila pertama. Menjadi yang Pertama karena hal yang
harus dipahami pertama kali sebelum memahami sila kedua, tiga, empat dan lima. Landasan yang pertama untuk kesejahteraan bersama.
Karena, agamaku-agamaku, agamamu-agamamu.
13.20
24.05.18
Setelah tidur pulas di Masjid yang berisi lautan manusia berpuasa
Comments
Post a Comment